Adzan dengan Pengeras Suara
Di zaman dahulu, tatkala angka kepadatan penduduk masih rendah, teriakan manusia mungkin masih terdengar dari jarak jauh. Namun di zaman kini, ketika penduduk semakin berjejal, ditambah lagi kebisingan suara mesin atau gemuruh aktifitas manusia yang kian hari kian meningkat, seperti di kota-kota besar, jarak jangkau suara manusia bila tidak diperkuat dengan mikrofon sangatlah pendek. Oleh sebab itu para ulama berpendapat bolehnya menggunakan mikrofon ketika adzan, sebab tujuan adzan adalah agar manusia mengetahui waktu-waktu shalat. Jika suara adzan lemah dan tidak bisa terdengar oleh orang yang hendak melakukan shalat, maka tentunya tujuan ini tidak dicapai.
Di antara ulama yang membolehkannya adalah Syaikh Muqbil, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Yahya bin ‘Ali Al Hajury [1] dan lain-lainnya, demikian pula fatwa Lajnah Daimah di Arab Saudi.
Adapun kaidah yang dipakai dalam pembolehan mikrofon untuk adzan adalah:
“Apa yang tidak sempurna dalam perkara wajib kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Iqamah dengan Pengeras Suara
Adapun iqamah, tidak mengapa dilakukan dengan pengeras suara atau tanpa pengeras suara, karena fungsi iqamah adalah memberi tahu orang-orang di masjid bahwa imam telah datang dan shalat akan ditegakkan. Dan inilah yang difatwakan oleh Asy Syaik Muqbil dan Asy Syaikh Yahya.
Hukum Adzan Menggunakan Kaset
Berkembangnya teknologi elektronika di tengah-tengah umat yang jahil terhadap Islam justru semakin menambah jauhnya mereka dari agamanya. Sampai-sampai adzan di masjid pun diganti dengan suara kaset. Ini adalah bid’ah. Adzan semacam ini tidak sah dan wajib untuk diulangi. Semoga kaum muslimin mendapatkan hidayah, amin.
Apakah yang Adzan Juga Harus Beriqamah?
Para ulama menganjurkan bahwa yang melakukan adzan maka dia pula yang melakukan iqamah dan ini merupakan sunnah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Adalah Bilal melakukan adzan ketika tergelincir matahari (dhuhur) kemudian ia tidak melakukan iqamah kecuali bila telah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala dia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam masuk masjid maka seketika itu pula ia melakukan iqamah.” (HR. Ahmad (19936) dari Jabir bin Samurah)
Adapun bila selesai adzan sang muadzin berhalangan, seperti buang hajat dan sebagainya maka tidak mengapa bagi yang lain untuk melakukan iqamah.
Hukum Shalat Jama’ah Tanpa Adzan
Disyariatkan bagi yang melakukam shalat untuk beradzan dan beriqamah. Adapun shalat jama’ah yang ditegakkan tanpa adzan dan iqamah, sah hukumnya. Demikian menurut fatwa Lajnah Da’imah. Tetapi jika dalam satu kampung, penduduknya bersepakat untuk meninggalkan adzan maka Syaikhul Islam berfatwa bahwa kampung tersebut berhak diperangi.
Hukum Adzan Bagi yang Shalat Sendirian
Demikian pula bagi yang sendirian seperti penggembala yang jauh dari masjid, atau yang pergi ke hutan untuk mencari rumput dan pepohonan, atau tertidur hingga telah berlalu shalat jama’ah maka bagi orang seperti ini disyariatkan Nabi untuk melakukan adzan dan iqamah sebelum menunaikan shalat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Saya melihat engkau sangat menyukai gembalaan dan perkampungan. Jika engkau sedang menggembala atau berada di perkampungan, lalu engkau lakukan adzan untuk shalat, maka keraskan suara adzan engkau. Karena tidaklah ada makhluk yang mendengar adzan baik jin, manusia, atau apapun, melainkan masing-masing akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dari Abu Sa’id Al Khudri)
Hukum Adzan Bagi Musafir (Bepergian)
Adapun orang yang bepergian, maka diwajibkan pula atasnya untuk melakukan adzan dan iqamah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Kalau tiba waktu shalat maka hendaklah beradzan satu di antara kalian.” (HR. Bukhari dari Malik bin Huwairits)
Perintah untuk menyerukan adzan dalam hadits tersebut bersifat umum, baik itu ditujukan bagi orang muqim (tidak bepergian) ataupun yang musafir (bepergian). Demikian pula apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Segala sesuatu yang datang dari rasul maka ambillah dan segala sesuatu yang dilarang maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Hukum Adzannya Wanita
Permasalahan ini perlu perincian sebagai berikut:
Pertama: Wanita beradzan di hadapan kaum lelaki.
Tidak ternukil sama sekali dari para ulama pembolehan hal ini. Bahkan suara perempuan di hadapan laki-laki termasuk fitnah yang bisa membangkitkan penyakit hati bagi kaum lelaki. Sebagaimana firman Allah:
“Jika kalian bertaqwa (wahai istri-istri Nabi), maka janganlah kamu berlembut-lembut dalam berbicara sehingga kaum lelaki yang hatinya berpenyakit mempunyai keinginan keji (zina), dan hendaklah kalian ucapkan perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32)
Kedua: Wanita adzan di tengah-tengah kaum wanita.
Pendapat yang rajih, hal seperti ini disyariatkan. Demikianlah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hazm dan sebagainya.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits di mana Umar bin Khaththab ditanya, apakah bagi para wanita disyariatkan adzan atau tidak? Maka ia marah seraya berkata:
“Apakah aku hendak melarang dari dzikir kepada Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar)
Tetapi tidak sepantasnya adzan mereka menggunakan pengeras suara atau dilakukan di tempat yang tinggi karena shalat jama’ah di masjid hanya diwajibkan atas kaum lelaki dan tidak diwajibkan atas kaum wamita. Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya saya hendak memerintahkan agar shalat ditunaikan lalu memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia kemudian saya akan pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar pada suatu kaum yang tidak melakukan shalat jama’ah. Saya bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari (2242) dari Abu Hurairah)
Menjadikan Muadzin yang Buta
Diperbolehkan untuk mengangkat seorang muadzin yang buta sebagaimana Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai muadzin. Dalam suatu hadits disebutkan:
“Bahwasanya Ibnu Ummi Maktum beradzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia dalam keadaan buta.” (HR. Muslim (574) dari Aisyah)
Akan tetapi muadzin yang buta harus memenuhi kriteria sebagaimana tersebut pada pembahasan sebelumnya di antaranya baik agamanya, jujur, mempunyai suara bagus dan lantang, dan harus ada orang yang terpercaya yang memberitahukan datangnya waktu shalat kepadanya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Bahwasanya Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta. Dia tidaklah menyerukan adzan kecuali bila telah dikatakan kepadanya, subuh.. subuh..” (HR. Al Bukhari (582) dari Umar bin Khaththab)
Jika Muadzin Terlambat atau Terhalang untuk Adzan
Sudah selayaknya bagi seorang muadzin untuk tepat waktu dalam adzannya, karena waktu yang paling afdhal untuk menunaikan shalat adalah di awal waktu terkecuali shalat isya’, dan shalat dhuhur di saat udara sangat panas. Jika muadzin terlambat adzan karena tertidur atau terhalang dikarenakan sakit, safar, dll, maka tidak mengapa bagi orang lain untuk menggantikannya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika waktu shalat tiba maka hendaklah seorang di antara kalian beradzan.” (HR. Bukhari)
Hukum Adzan Sebelum Waktu Shalat
Karena jauhnya dari ilmu agama, banyak kaum muslimin melakukan adzan tidak pada waktunya. Sebagian mereka ada yang beradzan subuh sesaat setelah bangun tidur tanpa melihat fajar shidiq. Sebagian lagi beradzan dhuhur pada jam 11 padahal di tanah jawa, mumgkin belum pernah terjadi dhuhur pada jam tersebut. Yang lainnya lagi mengumandangkan adzan isya’ ketika warna merah masih terlihat di langit dengan alasan agar shalat tarawih tidak terlalu malam.
1. Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni bahwa adzan sebelum waktunya hukumnya tidak sah. Dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan di antara ulama.
2. Ibnul Mundzir menyebutkan kesepakatan para ulama bahwa hendaknya adzan dilakukan tepat pada waktunya. Kecuali adzan subuh, maka dalam hal ini terjadi perselisihan di antara ulama.
Namun yang dirajihkan para ulama, adzan shalat subuh pun tidak boleh dikumandangkan sebelum waktu subuh tiba. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika waktu shalat tiba maka hendaklah seseorang di antara kalian beradzan dan hendaklah yang paling bagus bacaannya menjadi imam.” (HR. Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan waktu-waktu shalat dan seorang tidak boleh melakukan shalat sebelum datang waktunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103)
Di antara para ulama yang melarang beradzan sebelum datang waktunya termasuk shalat subuh sekalipun adalah Syaikh Muqbil, Asy Syaikh Yahya Al Hajuri, dan lain-lainnya. Mereka beralasan dengan dalil-dalil tersebut di atas.
Jika adzan dilakukan sebelum waktunya maka akan menimbulkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:
a. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Di antara setiap adzan dan iqamah ada shalat.” (HR. Bukhari (588) Muslim (1384) dari Abdullah Mughoffal)
Shalat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah shalat rowatib yang dikerjakan setelah masuk waktu shalat dan mengiringi shalat fardhu, baik sebelum ataupun sesudahnya. Jika shalat ini dilakukan sebelum waktunya maka tidak sah. Bahkan jika hal ini terjadi menjelang waktu dhuhur, seorang justru akan terjatuh pada larangan mendirikan shalat di saat waktu ‘karahah’, yaitu tatkala matahari tepat berada di atas kepala.
b. Bila yang terjadi adalah adzan maghrib, maka kaum muslimin yang berbuka puasa di saat itu tidak sah puasanya. Puasanya harus diqadha. Cukuplah kiranya sabda nabi berikut ini menjadi peringatan bagi para muadzin yang tidak memperhatikan waktu maghrib:
“Di kala aku tidur mendadak datanglah dua orang ke arahku, keduanya menarik lengan bajuku, mengajakku untuk mendaki sebuah gunung yang tinggi, mereka berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku katakan: “Sesungguhnya aku tidak mampu mendaki.” Keduanya berkata lagi: “Sungguh, kami akan membantumu.” Maka aku daki gunung tersebut. Hingga tatkala aku mencapai pertengahan, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang melengking sangat keras. Aku katakan, “Suara apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah jeritan penduduk neraka.” Kemudian aku naik lagi, seketika itu saya melihat suatu kaum lehernya tersungkur ke bawah, mulut-mulut mereka robek, dari mulut-mulut tersebut mengalir darag. Saya katakan, “Siapa mereka itu?” Maka dijawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktunya.” (HR. Al Hakim dari Abu Umamah Al Bahiliy)
Lihatlah adzab bagi yang berbuka sebelum masuk waktunya, kita berlindung darinya. Allahumma amin.
c. Jika shalat dilakukan di kala itu maka shalatnya tidak sah. Padahal kita saksikan banyak di antara kaum muslimah yang shalat di rumah atau wanita yang hemdak bergegas belanja ke pasar tidak mengetahui waktu-waktu shalat dan bergantung kepada seruan adzan. Kebanyakan mereka langsung shalat setelah adzan berkumandan.
Siapakah yang Disyariatkan Berdoa Setelah Mendengar Adzan
Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, seorang yang mendengar adzan dianjurkan untuk menirukan adzan dan melafadzkan doa setelahnya, sebagaimana sabda Nabi:
“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengatakan: …(doa setelah adzan)… “Maka ia berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdillah)
Dalam hadits ini, yang disyariatkan berdoa adalah orang yang mendengar adzan dan bukan yang beradzan. Wallahu a’lam.
Hukum Berbicara Ketika Terdengar Adzan
Sepantasnya bagi yang mendengar adzan untuk mengikuti adzannya muadzin mengingat keutamaan yang demikian besar yang dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
“Barangsiapa yang mendengar suara adzan kemudian dia berucap: Asyhadu alla ilaaha illahu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, radlitu billahi rabba wabi muhammadin rasulan wabil islami diinan (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, aku ridha Allah sebagai Rabb, dan Muhammad sebagai Rasul dan aku ridha Islam sebagai agama), maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Muslim (579) dari Sahl bin Sa’ad)
Para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Ishaq bin Rahuyah, dan lainnya mengatakan makruhnya berbicara ketika terdengar adzan. Namun jika keadaan mendesak untuk berbicara, maka tidak mengapa berbicara seperlunya. Dan hendaknya tidak memperpanjang pembicaraan sehingga terluput dari memperoleh keutamaan yang besar yaitu pengampunan dosa-dosa.
Cara Menjawab Iqamat
Seorang yang mendengar iqamat juga disyariatkan untuk menirukan apa yang diucapkan muadzin karena iqamat juga dinamakan adzan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Di antara dua adzan ada shalat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adzan pertama adalah adzan itu sendiri sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Adapun adzan kedua adalah iqamat. Jika demikian, maka tata cara menjawab iqamat sama seperti tata cara menjawab adzan yakni sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika kalian mendengar adzan maka katakanlah sebagaimana muadzin beradzan.” (HR. Muslim)
Sebagian orang tatkala mendengar ‘Qad qamatish shalah’ mereka mengatakan ‘Aqamahallah wa adaamaha.’ Dalil yang mereka pakai adalah hadits dari Abu Umamah:
“Bahwasanya Bilal melakukan iqamah. Maka tatkala Bilal mengucapkan ‘qad qamatish shalah’ Nabi menjawabnya dan mengatakan, ‘aqamahallahu wa adaamaha’ dan beliau menjawab lafadz iqamah yang lainnya sesuai dengan apa yang tersebut dalam hadits Umar bin Khaththab.” (HR. Abu Dawud, 444)
Hadits ini dalam sanadnya ada seorang rawi yang ‘mubham’ dan ada seorang rawi yang lemah yaitu Syahr bin Hausyab, dia seorang yang lemah haditsnya.
Sehingga dengan kelemahan hadits ini, kita tetap berpegang kepada hadits Umar pada bab yang telah lewat.
Menjawab Bacaan Tatswib
Kebanyakan kaum muslimin menjawab bacaan tatswib (ash shalatu khairum minannaum) dengan: “shadaqta wa bararta wa ana…”
Imam Ash Shan’any mengatakan bahwa ini hanyalah istihsan (anggapan baik) yang tidak berlandaskan dalil yang shahih. Yang benar, hendaklah yang mendengar bacaan tatswib mengucapkan sesuai dengan yang diucapkan oleh muadzin. Ini adalah pendapat Syaikh Al Wadi’i, Al Hajuri, dan lainnya. Landasannya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana muadzin ucapkan.” (HR. Muslim)
Hukum Menjawab Adzan Ketika sedang Shalat
Seorang yang sedang menunaikan shalat kemudian mendengar adzan maka di saat itu tidak disyariatkan menjawab adzan. Sebab dalam keadaan shalat, seseorang sibuk dan mencurahkan jiwa raga untuk bermunajat kepada Allah sehingga tidak boleh terganggu oleh perkara lain di luar shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya di dalam shalat sungguh terdapat kesibukan (dengan shalatnya).” (HR. Bukhari 1140, Muslim 837 dari Ibnu Mas’ud)
Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Syaikh Muqbil, Syaikh Ibnu Utsaimin, dll.
Hukum Menjawab Adzan dari Masjid Lain
Kita disunnahkan pula mengikuti muadzin tersebut sesuai dengan keumuman hadits:
“Kalau kalian mendengar adzan maka katakanlah sesuai dengan apa muadzin beradzan.” (HR. Muslim)
Hukum Menjawab Adzan Ahlu Bid’ah
Para ulama membagi bid’ah menjadi dua:
1. Bid’ah Kubra (besar), yaitu bid’ah yang menyebabkan pelakunya kafir. Seperti seorang yang meyakini bahwa dia sedang shalat di Makkah padahal jasadnya berada di rumah, atau meyakini bahwa dirinya wali Allah, tidak membutuhkan hadits-hadits Rasulullah, cukup dengan ilmu laduni maka adzan orang seperti orang seperti ini tidak diterima dan kita tidak dianjurkan untuk mendengar adzannya, sebagaimana teladan dari Ibnu Sirin tatkala ada dua orang mubtadi’ hendak membacakan Al Qur’an di hadapan beliau, seketika itu keduanya dihardik dan diperintahkan untuk keluar. Beliau tidak mau mendengarkan bacaan Al Qur’an dari lisan kedua mubtadi’ tersebut karena sangat khawatir terhadap keselamatan hatinya dari kebid’ahan yang menyusup ke dalam hati beliau melalui ayat-ayat Qur’an yang mereka baca tanpa beliau sadari.
2. Bid’ah sughra (kecil), seperti orang yang melafadzkan niat dengan bacaan ‘ushalli’ sebelum shalat, atau wirid menggunakan ‘biji tasbih’, dll. Maka kita dibolehkan untuk menjawab adzan orang tersebut mungkin karena kejahilannya atau karena taqlid terhadap ajaran nenek moyangnya, dsb.
Hukum Menjawab Adzan Radio/Tape
Permasalahan seperti ini tidak ada dalil yang menjelaskannya. Karena ini berkenaan dengan urusan dunia yang belum ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atau para shahabat, sesuai dengan qaidah:
“Asal usul masalah ibadah itu muharram sampai datang suatu dalil yang membolehkan.”
Maka hal seperti ini kita tidak ada tuntunan untuk menjawab adzan semacam ini. Wallahu a’lam.
Hukum Menjawab Adzan Bagi Musafir
Bagi tiap manusia, safar (bepergian) adalah suatu hal yang mungkin tidak bisa dielakkan dalam hidupnya. Banyak hal yang menuntut seseorang untuk melakukannya, mencari nafkah, berdakwah, menjenguk orang sakit, pergi mencari ilmu dsb. Maka ketika seorang dalam keadaan safar, ia tidak disyariatkan untuk menjawab adzan. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan tiba-tiba kami mendengar muadzin sedang beradzan mengucapkan “Allahu akbar Allahu akbar” maka berkatalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan fitrah, lalu muadzin mengucapkan “Asyhadu alla ilaaha illallaah” maka berkatalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari neraka maka segeralah kami melihat, tiba-tiba dia seorang penggembala, tatkala datang waktu shalat dia beradzan.” (HR. Ahmad 3667 dari Abdullah bin Mas’ud)
Hukum Menjawab Adzan Saat Penguburan Jenazah
Merebaknya bid’ah di tengah-tengah umat sudah demikian parah. Sampai-sampai orang yang meninggal diseru dengan adzan dan iqamah. Padahal adzan adalah seruan bagi orang hidup untuk mendirikan shalat jama’ah. Cukuplah bagi seorang muslim sabda Nabi:
“Barangsiapa yang beramal tanpa ada tuntunan dari kami (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim dari ‘Aisyah)
Maka dalam hal ini pun kita tidak boleh menjawab adzan muadzin karena hal ini merupakan bentuk tolong menolong dalam mematikan sunnah Nabi dan menghidupkan bid’ah ini. Tidak ternukil sama sekali dari para shahabat atau tabi’in bahkan tidak ada nukilan dari para imam seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Ahmad Malik, dll, tentang bolehnya adzan kematian. Kemudian dari mana mereka mendapatkan ajaran sesat ini kalau bukan dari hawa nafsu atau bisikan syaithan?
Hukum Menjawab Adzan Saat Kelahiran
Demikian pula, ketika terlahir seorang bayi, mereka mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga kanan dan kirinya. Kaum muslimin berkeyakinan bahwa jika seorang anak dibacakan adzan pada telinga kanan dan dibacakan iqamah pada telinga kiri, anak itu akan mempunyai akhlaq baik.
Namun justru tidak sedikit kita jumpai, anak-anak yang dibacakan adzan di telinga kanan dan kirinya di hari kelahirannya, menjadi orang yang berakhlak jelek di kemudian hari.
Sungguh, di hadapan kita ada sebuah teladan yang baik dari seorang shahabiyah bernama Ummu Sulaim. Ketika melahirkan bayi laki-laki, beliau segera mengirimkan bayi tersebut ke hadapan nabi bersama Anas bin Malik disertai beberapa butir kurma. Rasulullah mengambil kurma tersebut untuk tahnik [2] kemudian memberinya nama Abdullah.
Dalam kisah tersebut tidak ternukil sama sekali riwayat dari Abu Thalhah (suami Ummu Sulaim), atau dari Anas bin Malik (anak Ummu Sulaim), bahkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perbuatan membacakan adzan untuk sang bayi tadi.
Sehingga dengan dasar ini, hendaklah tiap muslim tidak menirukan adzan mereka bahkan jika dirinya mampu mengingatkan pelakunya dari perbuatan tersebut, lakukanlah, sehingga kebid’ahan tidak semakin merajalela. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang meligat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, kalau tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, 70 dari Abu Sa’id Al Khudri)
Hikmah Genapnya Lafadz Adzam dan Ganjilnya Lafadz Iqamah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fungsi adzan adalah sebagai panggilan bagi orang-orang yang belum hadir untuk segera mendatangi masjid. Oleh sebab itulah lafadz adzan digenapkan, dinyaringkan, dan dibac secara tartil agar lebih mudah terdengar oleh kaum muslimin di luar masjid. Sedangkan lafadz iqamah diringkas (diganjilkan) dan dibaca secara cepat karena seruan ini ditujukan kepada kaum muslimin yang telah hadir. Adapun lafadz ‘qad qamatish shalah’ (yang artinya shalat hendak ditegakkan) digenapkan karena inti dari seruan ini adalah pemberitahuan bahwa shalat akan ditegakkan.
Berapa Jarak Antara Adzan dan Iqamah?
Jumhur ulama menganjurkan agar antara adzan dan iqamah ada jeda beberapa saat. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan jama’ah shalat untuk berwudhu, atau menunaikan shalat sunnah rawatib, berdzikir atau untuk memanjatkan doa di antara keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Di antara dua adzan ada shalat sunnah (3 kali) bagi siapa yang berkeinginan melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun waktu yang tepat untuk menyerukan iqamah adalag jika imam telah terlihat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwasanya Bilal melakukan adzan ketika matahari tergelincir, kemudian ia tidak melakukan iqamah kecuali bila Nabi sudah terlihat. Jika beliau telah masuk masjid, maka ia serukan iqamah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Samurah)
Semua ini tergantung kepada keputusan imam. Bila makmum telah terlihat berkumpul maka hendaklah dilakukan iqamah. Namun jika makmum terlihat belum banyak, maka tidak mengapa bagi imam untuk menunggu sesaat. Sedangkan jarak antara keduanya tergantung dari kebiasaan (‘urf) tiap daerah.
Apakah Disyariatkan Ucapan “Shallu fii rihalikum” Saat Hujan Tidak Deras?
Dari konteks hadits yang tersebut dalam Bab sebelumnya bahwa ucapan tersebut dilafadzkan jika hujan deras [3]. Bila hujan tidak lebat, dan seseorang mampu mendatangi masjid dan aman dalam perjalanannya maka lebih afdhal untuk mendatangi masjid sebagaimana firman Allah:
“Berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebajikan.” (Al Baqarah: 148)
Akan tetapi jika dikhawatirkan akan menyusul hujan deras dan yang bersangkutan takut akan diri pribadinya atau keluarganya maka tidaklah mengapa untuk shalat di rumahnya. Wallahu a’lam.
Apakah Disyariatkan Ucapan “Shallu fii rihalikum” Saat Banjir?
Banjir juga merupakan rukhshah bagi seorang muslim untuk tidak hadir dalam shalat berjamaah. Hal ini pernah dialami oleh shahabat ‘Itban bin Malik yang meminta rukhshah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah di saat wadi (jalan pasir) mengalami banjir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan izin kepadanya. Allah berfirman:
“Allah tidaklah memberikan beban kepada suatu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286)
Apalagi banjir besar bisa menimbulkan kebinasaan pada diri kita. Sementara Allah melarang kita untuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri dalam kebinasaan.” (Al Baqarah: 195)
Maka bagi muadzin pun tidak mengapa untuk mengucapkan “shallu fii rihaalikum (shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”, terlebih jika masjidnya berada di kawasan yang sedang dilanda banjir. Wallahu a’lam.
Hukum Selesai Adzan Baru Menjawab Adzan
Jika seseorang berada di tempat najis, seperti WC dan semisalnya dan saat itu adzan berkumandang, maka ia tidak diperbolehkan menjawab adzan sampai ia keluar dari WC. Jika adzan telah selesai dan orang tersebut baru keluar dari WC, maka menurut sebagian ahlul ilmi ia disyariatkan untuk menjawab adzan secara utuh sekaligus. Hal ing berdasarkan keumuman hadits:
“Jika kalian mendengar adzan maka hendaklah kalian ucapkan sebagaimana muadzin ucapkan.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash)
Demikian pula jika seseorang tertidur dan terbangun di saat muadzin mengucapkan sebagian dari lafadz adzan maka disyariatkan baginya untuk menjawab apa yang didengar. Adapun seseorang yang tertidur dan sama sekali tidak mendengar suara adzan hingga ia bangun maka tidak disyariatkan untuk menjawab adzan.
Berapa Adzan dan Iqamah Pada Shalat Jama’?
Dalam masalah ini, pendapat yang rajih adalah 1 kali adzan dan 2 kali iqamah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwasanya Nabi datang ke Muzdalifah kemudian menjama’ shalat maghrib dan isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
Apakah Bacaan Adzan dan Iqamah Harus Urut (Tertib)?
Para ahlul ilmi menukilkan ijma’ tentang wajibnya tertib (urut) dalam melafadzkan bacaan adzan dan iqamah. Asy-Syaikh Ibnu Al-’Utsaimin berpendapat, karena adzan adalah ibadah yang telah ditentukan kaifiat (tata cara)-nya, maka haruslah dilakukan sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang sama sekali tidak ada dalam urusan agama kami maka amalan dia tertolak.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Diambil seperlunya dari buku "Adzan Keutamaan, Ketentuan dan 100 Kesalahannya" karya Al Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, penerbit: Daarul Atsar, hal. 60-103]
____________________
[1] Para ulama (seperti Asy Syaikh Rabi’ Al Madhkhali, dll) telah menjelaskan penyimpangan Syaikh Yahya Al Hajuri dari manhaj salaf ini, silakan kunjungi www.dammajhabibah.wordpress.com.
[2[ Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bira digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.
[3] Dijelaskan oleh para ulama bahwa jika ada halangan baik hujan, udara dingin, atau angin kencang, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat di rumah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwa Nabi memerintahkan muadzin jika malam sangat dingin atau hujan lebat atau angin kencang untuk mengatakan ‘Alaa shallu fi rihalikum… (ketahuilah, shalatlah di rumah-rumah kalian).” (HR. Abu Awanah dari Ibnu Umar)
Di zaman dahulu, tatkala angka kepadatan penduduk masih rendah, teriakan manusia mungkin masih terdengar dari jarak jauh. Namun di zaman kini, ketika penduduk semakin berjejal, ditambah lagi kebisingan suara mesin atau gemuruh aktifitas manusia yang kian hari kian meningkat, seperti di kota-kota besar, jarak jangkau suara manusia bila tidak diperkuat dengan mikrofon sangatlah pendek. Oleh sebab itu para ulama berpendapat bolehnya menggunakan mikrofon ketika adzan, sebab tujuan adzan adalah agar manusia mengetahui waktu-waktu shalat. Jika suara adzan lemah dan tidak bisa terdengar oleh orang yang hendak melakukan shalat, maka tentunya tujuan ini tidak dicapai.
Di antara ulama yang membolehkannya adalah Syaikh Muqbil, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Yahya bin ‘Ali Al Hajury [1] dan lain-lainnya, demikian pula fatwa Lajnah Daimah di Arab Saudi.
Adapun kaidah yang dipakai dalam pembolehan mikrofon untuk adzan adalah:
“Apa yang tidak sempurna dalam perkara wajib kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Iqamah dengan Pengeras Suara
Adapun iqamah, tidak mengapa dilakukan dengan pengeras suara atau tanpa pengeras suara, karena fungsi iqamah adalah memberi tahu orang-orang di masjid bahwa imam telah datang dan shalat akan ditegakkan. Dan inilah yang difatwakan oleh Asy Syaik Muqbil dan Asy Syaikh Yahya.
Hukum Adzan Menggunakan Kaset
Berkembangnya teknologi elektronika di tengah-tengah umat yang jahil terhadap Islam justru semakin menambah jauhnya mereka dari agamanya. Sampai-sampai adzan di masjid pun diganti dengan suara kaset. Ini adalah bid’ah. Adzan semacam ini tidak sah dan wajib untuk diulangi. Semoga kaum muslimin mendapatkan hidayah, amin.
Apakah yang Adzan Juga Harus Beriqamah?
Para ulama menganjurkan bahwa yang melakukan adzan maka dia pula yang melakukan iqamah dan ini merupakan sunnah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Adalah Bilal melakukan adzan ketika tergelincir matahari (dhuhur) kemudian ia tidak melakukan iqamah kecuali bila telah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala dia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam masuk masjid maka seketika itu pula ia melakukan iqamah.” (HR. Ahmad (19936) dari Jabir bin Samurah)
Adapun bila selesai adzan sang muadzin berhalangan, seperti buang hajat dan sebagainya maka tidak mengapa bagi yang lain untuk melakukan iqamah.
Hukum Shalat Jama’ah Tanpa Adzan
Disyariatkan bagi yang melakukam shalat untuk beradzan dan beriqamah. Adapun shalat jama’ah yang ditegakkan tanpa adzan dan iqamah, sah hukumnya. Demikian menurut fatwa Lajnah Da’imah. Tetapi jika dalam satu kampung, penduduknya bersepakat untuk meninggalkan adzan maka Syaikhul Islam berfatwa bahwa kampung tersebut berhak diperangi.
Hukum Adzan Bagi yang Shalat Sendirian
Demikian pula bagi yang sendirian seperti penggembala yang jauh dari masjid, atau yang pergi ke hutan untuk mencari rumput dan pepohonan, atau tertidur hingga telah berlalu shalat jama’ah maka bagi orang seperti ini disyariatkan Nabi untuk melakukan adzan dan iqamah sebelum menunaikan shalat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Saya melihat engkau sangat menyukai gembalaan dan perkampungan. Jika engkau sedang menggembala atau berada di perkampungan, lalu engkau lakukan adzan untuk shalat, maka keraskan suara adzan engkau. Karena tidaklah ada makhluk yang mendengar adzan baik jin, manusia, atau apapun, melainkan masing-masing akan menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dari Abu Sa’id Al Khudri)
Hukum Adzan Bagi Musafir (Bepergian)
Adapun orang yang bepergian, maka diwajibkan pula atasnya untuk melakukan adzan dan iqamah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Kalau tiba waktu shalat maka hendaklah beradzan satu di antara kalian.” (HR. Bukhari dari Malik bin Huwairits)
Perintah untuk menyerukan adzan dalam hadits tersebut bersifat umum, baik itu ditujukan bagi orang muqim (tidak bepergian) ataupun yang musafir (bepergian). Demikian pula apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Segala sesuatu yang datang dari rasul maka ambillah dan segala sesuatu yang dilarang maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Hukum Adzannya Wanita
Permasalahan ini perlu perincian sebagai berikut:
Pertama: Wanita beradzan di hadapan kaum lelaki.
Tidak ternukil sama sekali dari para ulama pembolehan hal ini. Bahkan suara perempuan di hadapan laki-laki termasuk fitnah yang bisa membangkitkan penyakit hati bagi kaum lelaki. Sebagaimana firman Allah:
“Jika kalian bertaqwa (wahai istri-istri Nabi), maka janganlah kamu berlembut-lembut dalam berbicara sehingga kaum lelaki yang hatinya berpenyakit mempunyai keinginan keji (zina), dan hendaklah kalian ucapkan perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32)
Kedua: Wanita adzan di tengah-tengah kaum wanita.
Pendapat yang rajih, hal seperti ini disyariatkan. Demikianlah pendapat Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibnu Hazm dan sebagainya.
Hal ini berdasarkan sebuah hadits di mana Umar bin Khaththab ditanya, apakah bagi para wanita disyariatkan adzan atau tidak? Maka ia marah seraya berkata:
“Apakah aku hendak melarang dari dzikir kepada Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar)
Tetapi tidak sepantasnya adzan mereka menggunakan pengeras suara atau dilakukan di tempat yang tinggi karena shalat jama’ah di masjid hanya diwajibkan atas kaum lelaki dan tidak diwajibkan atas kaum wamita. Sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya saya hendak memerintahkan agar shalat ditunaikan lalu memerintahkan seseorang untuk mengimami manusia kemudian saya akan pergi bersama beberapa orang yang membawa kayu bakar pada suatu kaum yang tidak melakukan shalat jama’ah. Saya bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari (2242) dari Abu Hurairah)
Menjadikan Muadzin yang Buta
Diperbolehkan untuk mengangkat seorang muadzin yang buta sebagaimana Rasulullah mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai muadzin. Dalam suatu hadits disebutkan:
“Bahwasanya Ibnu Ummi Maktum beradzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia dalam keadaan buta.” (HR. Muslim (574) dari Aisyah)
Akan tetapi muadzin yang buta harus memenuhi kriteria sebagaimana tersebut pada pembahasan sebelumnya di antaranya baik agamanya, jujur, mempunyai suara bagus dan lantang, dan harus ada orang yang terpercaya yang memberitahukan datangnya waktu shalat kepadanya. Sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Bahwasanya Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta. Dia tidaklah menyerukan adzan kecuali bila telah dikatakan kepadanya, subuh.. subuh..” (HR. Al Bukhari (582) dari Umar bin Khaththab)
Jika Muadzin Terlambat atau Terhalang untuk Adzan
Sudah selayaknya bagi seorang muadzin untuk tepat waktu dalam adzannya, karena waktu yang paling afdhal untuk menunaikan shalat adalah di awal waktu terkecuali shalat isya’, dan shalat dhuhur di saat udara sangat panas. Jika muadzin terlambat adzan karena tertidur atau terhalang dikarenakan sakit, safar, dll, maka tidak mengapa bagi orang lain untuk menggantikannya sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika waktu shalat tiba maka hendaklah seorang di antara kalian beradzan.” (HR. Bukhari)
Hukum Adzan Sebelum Waktu Shalat
Karena jauhnya dari ilmu agama, banyak kaum muslimin melakukan adzan tidak pada waktunya. Sebagian mereka ada yang beradzan subuh sesaat setelah bangun tidur tanpa melihat fajar shidiq. Sebagian lagi beradzan dhuhur pada jam 11 padahal di tanah jawa, mumgkin belum pernah terjadi dhuhur pada jam tersebut. Yang lainnya lagi mengumandangkan adzan isya’ ketika warna merah masih terlihat di langit dengan alasan agar shalat tarawih tidak terlalu malam.
1. Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni bahwa adzan sebelum waktunya hukumnya tidak sah. Dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan di antara ulama.
2. Ibnul Mundzir menyebutkan kesepakatan para ulama bahwa hendaknya adzan dilakukan tepat pada waktunya. Kecuali adzan subuh, maka dalam hal ini terjadi perselisihan di antara ulama.
Namun yang dirajihkan para ulama, adzan shalat subuh pun tidak boleh dikumandangkan sebelum waktu subuh tiba. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika waktu shalat tiba maka hendaklah seseorang di antara kalian beradzan dan hendaklah yang paling bagus bacaannya menjadi imam.” (HR. Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan waktu-waktu shalat dan seorang tidak boleh melakukan shalat sebelum datang waktunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’: 103)
Di antara para ulama yang melarang beradzan sebelum datang waktunya termasuk shalat subuh sekalipun adalah Syaikh Muqbil, Asy Syaikh Yahya Al Hajuri, dan lain-lainnya. Mereka beralasan dengan dalil-dalil tersebut di atas.
Jika adzan dilakukan sebelum waktunya maka akan menimbulkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:
a. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Di antara setiap adzan dan iqamah ada shalat.” (HR. Bukhari (588) Muslim (1384) dari Abdullah Mughoffal)
Shalat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah shalat rowatib yang dikerjakan setelah masuk waktu shalat dan mengiringi shalat fardhu, baik sebelum ataupun sesudahnya. Jika shalat ini dilakukan sebelum waktunya maka tidak sah. Bahkan jika hal ini terjadi menjelang waktu dhuhur, seorang justru akan terjatuh pada larangan mendirikan shalat di saat waktu ‘karahah’, yaitu tatkala matahari tepat berada di atas kepala.
b. Bila yang terjadi adalah adzan maghrib, maka kaum muslimin yang berbuka puasa di saat itu tidak sah puasanya. Puasanya harus diqadha. Cukuplah kiranya sabda nabi berikut ini menjadi peringatan bagi para muadzin yang tidak memperhatikan waktu maghrib:
“Di kala aku tidur mendadak datanglah dua orang ke arahku, keduanya menarik lengan bajuku, mengajakku untuk mendaki sebuah gunung yang tinggi, mereka berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku katakan: “Sesungguhnya aku tidak mampu mendaki.” Keduanya berkata lagi: “Sungguh, kami akan membantumu.” Maka aku daki gunung tersebut. Hingga tatkala aku mencapai pertengahan, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang melengking sangat keras. Aku katakan, “Suara apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah jeritan penduduk neraka.” Kemudian aku naik lagi, seketika itu saya melihat suatu kaum lehernya tersungkur ke bawah, mulut-mulut mereka robek, dari mulut-mulut tersebut mengalir darag. Saya katakan, “Siapa mereka itu?” Maka dijawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum tiba waktunya.” (HR. Al Hakim dari Abu Umamah Al Bahiliy)
Lihatlah adzab bagi yang berbuka sebelum masuk waktunya, kita berlindung darinya. Allahumma amin.
c. Jika shalat dilakukan di kala itu maka shalatnya tidak sah. Padahal kita saksikan banyak di antara kaum muslimah yang shalat di rumah atau wanita yang hemdak bergegas belanja ke pasar tidak mengetahui waktu-waktu shalat dan bergantung kepada seruan adzan. Kebanyakan mereka langsung shalat setelah adzan berkumandan.
Siapakah yang Disyariatkan Berdoa Setelah Mendengar Adzan
Sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, seorang yang mendengar adzan dianjurkan untuk menirukan adzan dan melafadzkan doa setelahnya, sebagaimana sabda Nabi:
“Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengatakan: …(doa setelah adzan)… “Maka ia berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat nanti.” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdillah)
Dalam hadits ini, yang disyariatkan berdoa adalah orang yang mendengar adzan dan bukan yang beradzan. Wallahu a’lam.
Hukum Berbicara Ketika Terdengar Adzan
Sepantasnya bagi yang mendengar adzan untuk mengikuti adzannya muadzin mengingat keutamaan yang demikian besar yang dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits beliau mengatakan:
“Barangsiapa yang mendengar suara adzan kemudian dia berucap: Asyhadu alla ilaaha illahu wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, radlitu billahi rabba wabi muhammadin rasulan wabil islami diinan (Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, aku ridha Allah sebagai Rabb, dan Muhammad sebagai Rasul dan aku ridha Islam sebagai agama), maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Muslim (579) dari Sahl bin Sa’ad)
Para ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Ishaq bin Rahuyah, dan lainnya mengatakan makruhnya berbicara ketika terdengar adzan. Namun jika keadaan mendesak untuk berbicara, maka tidak mengapa berbicara seperlunya. Dan hendaknya tidak memperpanjang pembicaraan sehingga terluput dari memperoleh keutamaan yang besar yaitu pengampunan dosa-dosa.
Cara Menjawab Iqamat
Seorang yang mendengar iqamat juga disyariatkan untuk menirukan apa yang diucapkan muadzin karena iqamat juga dinamakan adzan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Di antara dua adzan ada shalat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adzan pertama adalah adzan itu sendiri sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Adapun adzan kedua adalah iqamat. Jika demikian, maka tata cara menjawab iqamat sama seperti tata cara menjawab adzan yakni sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika kalian mendengar adzan maka katakanlah sebagaimana muadzin beradzan.” (HR. Muslim)
Sebagian orang tatkala mendengar ‘Qad qamatish shalah’ mereka mengatakan ‘Aqamahallah wa adaamaha.’ Dalil yang mereka pakai adalah hadits dari Abu Umamah:
“Bahwasanya Bilal melakukan iqamah. Maka tatkala Bilal mengucapkan ‘qad qamatish shalah’ Nabi menjawabnya dan mengatakan, ‘aqamahallahu wa adaamaha’ dan beliau menjawab lafadz iqamah yang lainnya sesuai dengan apa yang tersebut dalam hadits Umar bin Khaththab.” (HR. Abu Dawud, 444)
Hadits ini dalam sanadnya ada seorang rawi yang ‘mubham’ dan ada seorang rawi yang lemah yaitu Syahr bin Hausyab, dia seorang yang lemah haditsnya.
Sehingga dengan kelemahan hadits ini, kita tetap berpegang kepada hadits Umar pada bab yang telah lewat.
Menjawab Bacaan Tatswib
Kebanyakan kaum muslimin menjawab bacaan tatswib (ash shalatu khairum minannaum) dengan: “shadaqta wa bararta wa ana…”
Imam Ash Shan’any mengatakan bahwa ini hanyalah istihsan (anggapan baik) yang tidak berlandaskan dalil yang shahih. Yang benar, hendaklah yang mendengar bacaan tatswib mengucapkan sesuai dengan yang diucapkan oleh muadzin. Ini adalah pendapat Syaikh Al Wadi’i, Al Hajuri, dan lainnya. Landasannya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika kalian mendengar adzan maka ucapkanlah sebagaimana muadzin ucapkan.” (HR. Muslim)
Hukum Menjawab Adzan Ketika sedang Shalat
Seorang yang sedang menunaikan shalat kemudian mendengar adzan maka di saat itu tidak disyariatkan menjawab adzan. Sebab dalam keadaan shalat, seseorang sibuk dan mencurahkan jiwa raga untuk bermunajat kepada Allah sehingga tidak boleh terganggu oleh perkara lain di luar shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya di dalam shalat sungguh terdapat kesibukan (dengan shalatnya).” (HR. Bukhari 1140, Muslim 837 dari Ibnu Mas’ud)
Ini adalah pendapat kebanyakan para ulama dan dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Syaikh Muqbil, Syaikh Ibnu Utsaimin, dll.
Hukum Menjawab Adzan dari Masjid Lain
Kita disunnahkan pula mengikuti muadzin tersebut sesuai dengan keumuman hadits:
“Kalau kalian mendengar adzan maka katakanlah sesuai dengan apa muadzin beradzan.” (HR. Muslim)
Hukum Menjawab Adzan Ahlu Bid’ah
Para ulama membagi bid’ah menjadi dua:
1. Bid’ah Kubra (besar), yaitu bid’ah yang menyebabkan pelakunya kafir. Seperti seorang yang meyakini bahwa dia sedang shalat di Makkah padahal jasadnya berada di rumah, atau meyakini bahwa dirinya wali Allah, tidak membutuhkan hadits-hadits Rasulullah, cukup dengan ilmu laduni maka adzan orang seperti orang seperti ini tidak diterima dan kita tidak dianjurkan untuk mendengar adzannya, sebagaimana teladan dari Ibnu Sirin tatkala ada dua orang mubtadi’ hendak membacakan Al Qur’an di hadapan beliau, seketika itu keduanya dihardik dan diperintahkan untuk keluar. Beliau tidak mau mendengarkan bacaan Al Qur’an dari lisan kedua mubtadi’ tersebut karena sangat khawatir terhadap keselamatan hatinya dari kebid’ahan yang menyusup ke dalam hati beliau melalui ayat-ayat Qur’an yang mereka baca tanpa beliau sadari.
2. Bid’ah sughra (kecil), seperti orang yang melafadzkan niat dengan bacaan ‘ushalli’ sebelum shalat, atau wirid menggunakan ‘biji tasbih’, dll. Maka kita dibolehkan untuk menjawab adzan orang tersebut mungkin karena kejahilannya atau karena taqlid terhadap ajaran nenek moyangnya, dsb.
Hukum Menjawab Adzan Radio/Tape
Permasalahan seperti ini tidak ada dalil yang menjelaskannya. Karena ini berkenaan dengan urusan dunia yang belum ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atau para shahabat, sesuai dengan qaidah:
“Asal usul masalah ibadah itu muharram sampai datang suatu dalil yang membolehkan.”
Maka hal seperti ini kita tidak ada tuntunan untuk menjawab adzan semacam ini. Wallahu a’lam.
Hukum Menjawab Adzan Bagi Musafir
Bagi tiap manusia, safar (bepergian) adalah suatu hal yang mungkin tidak bisa dielakkan dalam hidupnya. Banyak hal yang menuntut seseorang untuk melakukannya, mencari nafkah, berdakwah, menjenguk orang sakit, pergi mencari ilmu dsb. Maka ketika seorang dalam keadaan safar, ia tidak disyariatkan untuk menjawab adzan. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan tiba-tiba kami mendengar muadzin sedang beradzan mengucapkan “Allahu akbar Allahu akbar” maka berkatalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan fitrah, lalu muadzin mengucapkan “Asyhadu alla ilaaha illallaah” maka berkatalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari neraka maka segeralah kami melihat, tiba-tiba dia seorang penggembala, tatkala datang waktu shalat dia beradzan.” (HR. Ahmad 3667 dari Abdullah bin Mas’ud)
Hukum Menjawab Adzan Saat Penguburan Jenazah
Merebaknya bid’ah di tengah-tengah umat sudah demikian parah. Sampai-sampai orang yang meninggal diseru dengan adzan dan iqamah. Padahal adzan adalah seruan bagi orang hidup untuk mendirikan shalat jama’ah. Cukuplah bagi seorang muslim sabda Nabi:
“Barangsiapa yang beramal tanpa ada tuntunan dari kami (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari – Muslim dari ‘Aisyah)
Maka dalam hal ini pun kita tidak boleh menjawab adzan muadzin karena hal ini merupakan bentuk tolong menolong dalam mematikan sunnah Nabi dan menghidupkan bid’ah ini. Tidak ternukil sama sekali dari para shahabat atau tabi’in bahkan tidak ada nukilan dari para imam seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, Ahmad Malik, dll, tentang bolehnya adzan kematian. Kemudian dari mana mereka mendapatkan ajaran sesat ini kalau bukan dari hawa nafsu atau bisikan syaithan?
Hukum Menjawab Adzan Saat Kelahiran
Demikian pula, ketika terlahir seorang bayi, mereka mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga kanan dan kirinya. Kaum muslimin berkeyakinan bahwa jika seorang anak dibacakan adzan pada telinga kanan dan dibacakan iqamah pada telinga kiri, anak itu akan mempunyai akhlaq baik.
Namun justru tidak sedikit kita jumpai, anak-anak yang dibacakan adzan di telinga kanan dan kirinya di hari kelahirannya, menjadi orang yang berakhlak jelek di kemudian hari.
Sungguh, di hadapan kita ada sebuah teladan yang baik dari seorang shahabiyah bernama Ummu Sulaim. Ketika melahirkan bayi laki-laki, beliau segera mengirimkan bayi tersebut ke hadapan nabi bersama Anas bin Malik disertai beberapa butir kurma. Rasulullah mengambil kurma tersebut untuk tahnik [2] kemudian memberinya nama Abdullah.
Dalam kisah tersebut tidak ternukil sama sekali riwayat dari Abu Thalhah (suami Ummu Sulaim), atau dari Anas bin Malik (anak Ummu Sulaim), bahkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perbuatan membacakan adzan untuk sang bayi tadi.
Sehingga dengan dasar ini, hendaklah tiap muslim tidak menirukan adzan mereka bahkan jika dirinya mampu mengingatkan pelakunya dari perbuatan tersebut, lakukanlah, sehingga kebid’ahan tidak semakin merajalela. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang meligat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, kalau tidak mampu maka rubahlah dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, 70 dari Abu Sa’id Al Khudri)
Hikmah Genapnya Lafadz Adzam dan Ganjilnya Lafadz Iqamah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fungsi adzan adalah sebagai panggilan bagi orang-orang yang belum hadir untuk segera mendatangi masjid. Oleh sebab itulah lafadz adzan digenapkan, dinyaringkan, dan dibac secara tartil agar lebih mudah terdengar oleh kaum muslimin di luar masjid. Sedangkan lafadz iqamah diringkas (diganjilkan) dan dibaca secara cepat karena seruan ini ditujukan kepada kaum muslimin yang telah hadir. Adapun lafadz ‘qad qamatish shalah’ (yang artinya shalat hendak ditegakkan) digenapkan karena inti dari seruan ini adalah pemberitahuan bahwa shalat akan ditegakkan.
Berapa Jarak Antara Adzan dan Iqamah?
Jumhur ulama menganjurkan agar antara adzan dan iqamah ada jeda beberapa saat. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan jama’ah shalat untuk berwudhu, atau menunaikan shalat sunnah rawatib, berdzikir atau untuk memanjatkan doa di antara keduanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Di antara dua adzan ada shalat sunnah (3 kali) bagi siapa yang berkeinginan melakukannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun waktu yang tepat untuk menyerukan iqamah adalag jika imam telah terlihat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwasanya Bilal melakukan adzan ketika matahari tergelincir, kemudian ia tidak melakukan iqamah kecuali bila Nabi sudah terlihat. Jika beliau telah masuk masjid, maka ia serukan iqamah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Samurah)
Semua ini tergantung kepada keputusan imam. Bila makmum telah terlihat berkumpul maka hendaklah dilakukan iqamah. Namun jika makmum terlihat belum banyak, maka tidak mengapa bagi imam untuk menunggu sesaat. Sedangkan jarak antara keduanya tergantung dari kebiasaan (‘urf) tiap daerah.
Apakah Disyariatkan Ucapan “Shallu fii rihalikum” Saat Hujan Tidak Deras?
Dari konteks hadits yang tersebut dalam Bab sebelumnya bahwa ucapan tersebut dilafadzkan jika hujan deras [3]. Bila hujan tidak lebat, dan seseorang mampu mendatangi masjid dan aman dalam perjalanannya maka lebih afdhal untuk mendatangi masjid sebagaimana firman Allah:
“Berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebajikan.” (Al Baqarah: 148)
Akan tetapi jika dikhawatirkan akan menyusul hujan deras dan yang bersangkutan takut akan diri pribadinya atau keluarganya maka tidaklah mengapa untuk shalat di rumahnya. Wallahu a’lam.
Apakah Disyariatkan Ucapan “Shallu fii rihalikum” Saat Banjir?
Banjir juga merupakan rukhshah bagi seorang muslim untuk tidak hadir dalam shalat berjamaah. Hal ini pernah dialami oleh shahabat ‘Itban bin Malik yang meminta rukhshah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah di saat wadi (jalan pasir) mengalami banjir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan izin kepadanya. Allah berfirman:
“Allah tidaklah memberikan beban kepada suatu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286)
Apalagi banjir besar bisa menimbulkan kebinasaan pada diri kita. Sementara Allah melarang kita untuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri dalam kebinasaan.” (Al Baqarah: 195)
Maka bagi muadzin pun tidak mengapa untuk mengucapkan “shallu fii rihaalikum (shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”, terlebih jika masjidnya berada di kawasan yang sedang dilanda banjir. Wallahu a’lam.
Hukum Selesai Adzan Baru Menjawab Adzan
Jika seseorang berada di tempat najis, seperti WC dan semisalnya dan saat itu adzan berkumandang, maka ia tidak diperbolehkan menjawab adzan sampai ia keluar dari WC. Jika adzan telah selesai dan orang tersebut baru keluar dari WC, maka menurut sebagian ahlul ilmi ia disyariatkan untuk menjawab adzan secara utuh sekaligus. Hal ing berdasarkan keumuman hadits:
“Jika kalian mendengar adzan maka hendaklah kalian ucapkan sebagaimana muadzin ucapkan.” (HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash)
Demikian pula jika seseorang tertidur dan terbangun di saat muadzin mengucapkan sebagian dari lafadz adzan maka disyariatkan baginya untuk menjawab apa yang didengar. Adapun seseorang yang tertidur dan sama sekali tidak mendengar suara adzan hingga ia bangun maka tidak disyariatkan untuk menjawab adzan.
Berapa Adzan dan Iqamah Pada Shalat Jama’?
Dalam masalah ini, pendapat yang rajih adalah 1 kali adzan dan 2 kali iqamah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwasanya Nabi datang ke Muzdalifah kemudian menjama’ shalat maghrib dan isya’ dengan satu adzan dan dua iqamah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
Apakah Bacaan Adzan dan Iqamah Harus Urut (Tertib)?
Para ahlul ilmi menukilkan ijma’ tentang wajibnya tertib (urut) dalam melafadzkan bacaan adzan dan iqamah. Asy-Syaikh Ibnu Al-’Utsaimin berpendapat, karena adzan adalah ibadah yang telah ditentukan kaifiat (tata cara)-nya, maka haruslah dilakukan sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang sama sekali tidak ada dalam urusan agama kami maka amalan dia tertolak.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
[Diambil seperlunya dari buku "Adzan Keutamaan, Ketentuan dan 100 Kesalahannya" karya Al Ustadz Abu Hazim Muhsin bin Muhammad Bashori, penerbit: Daarul Atsar, hal. 60-103]
____________________
[1] Para ulama (seperti Asy Syaikh Rabi’ Al Madhkhali, dll) telah menjelaskan penyimpangan Syaikh Yahya Al Hajuri dari manhaj salaf ini, silakan kunjungi www.dammajhabibah.wordpress.com.
[2[ Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bira digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.
[3] Dijelaskan oleh para ulama bahwa jika ada halangan baik hujan, udara dingin, atau angin kencang, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat di rumah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Bahwa Nabi memerintahkan muadzin jika malam sangat dingin atau hujan lebat atau angin kencang untuk mengatakan ‘Alaa shallu fi rihalikum… (ketahuilah, shalatlah di rumah-rumah kalian).” (HR. Abu Awanah dari Ibnu Umar)