Nggak nyangka banget ya, udah 2,5 tahun aku menjadi mahasiswa jurusan
matematika di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di
Yogyakarta. Mengingat dulu perjuangan untuk tembus ke Univ negeri itu
bukan sesuatu yang mudah! Ini aja diterima bukan pada pilihan pertama
melainkan pilihan kedua. Dulu pilihan pertama aku mengambil jurusan
pendidikan matematika, trus pilihan yang kedua ngambil matematika murni.
Eh eh eh, tau – taunya diterima di pilihan
yang kedua. Pertamanya agak gimana gitu, soalnya dulu waktu masih SMA
sama sekali tak terbanyang dipikiranku untuk masuk ilmu murni, penginnya
pendidikan, karena dari kecil aku dah bercita – cita untuk menjadi
seorang guru. Tapi mungkin takdir
berkehendak lain, masuk murni deh akhirnya… Sempat sebelum daftar ulang banyak teman – temanku yang bertanya, “yakin, kamu mau masuk murni?”, mungkin pertanyaan itu untuk menyakinkanku. Dan setelah aku jawab dengan insya alloh, mereka pun tak berhenti untuk bartanya. Pertanyaan yang terlontar dari mereka selanjutnya adalah “Mau kerja apa kamu setelah lulus dari matematika murni?”. Jujur aja, aku pun bingung untuk menjawabnya. Sama sekali tak ada bayangan dibenakku mau kerja apa kalau udah lulus nanti. Ada yang bilang juga katanya kalau matematika murni itu lebih susah. Entah kenapa ya anggapan – anggapan dari temen – temenku itu masuk dari telinga kanan dan kemudian keluar melalui telinga kiri, ilang begitu saja, dan nggak aku pikirkan…. Secara ya, mungkin aku menganggap anggapan – anggapan seperti itu yang membuat pesimis! Tapi untungnya, aku punya seorang ayah yang bener – bener the best dah, beliau mendukungku untuk tetap masuk ke matematika murni, dan beliau pun berkata menyakinkan, “Matematika murni kan juga bisa bekerja di BPS”. Mungkin hanya satu lapangan pekerjaan yang beliau kasih sebagai gambaranku ke depan, tapi dari situ aku menemukan semangat!!!!!!!
Rasanya lumayan sakit hati juga sih sama pertanyaan dari teman – teman, “Mau kerja apa kamu ambil matematika murni?”….Oh ya, kebanyakan yang melontarkan pertanyaan seperti itu adalah teman – temanku yang masuk ke jalur pendidikan dari berbagai jurusan di FMIPA. Lalu muncul pertanyaan dalam benakku tapi tak kulontarkan kepada mereka. Pertanyaan itu adalah “emang pekerjaan itu cuma guru ya?”. Kalo sekarang mengingat pertanyaan itu rasanya berpikiran “begitu polosnya diriku dulu” wkwkwkwkwkw!
OK, next……. karena lumayan sakit hati ni ya, akhirnya aku curhat ke seseorang yang aku kenal lewat dunia maya. Dia adalah mahasiswa Ekonomi dari Universitas yang terkemuka di Indonesia. Setelah aku menceritakannya, dia malah ketawa. Dia nggak tertawa karena ceritaku, melainkan tertawa akan pertanyaan dari teman – temanku, “Mau kerja apa kamu ambil matematika murni?”. Sejujurnya aku bingung, apa yang dia tertawakan, kenapa dia menertawakan pertanyaan itu?. Dia malah berkata, seandainya dia disuruh milih masuk pendidikan atau murni, dia tetap memilih murni, kenapa? Kata dia, jika kita masuk ilmu murni maka materi yang dipelajari lebih luas dan kita diajarkan bagaimana penerapannya di lapangan, dari itu semua menjadikan prospek kedepan untuk lulusan murni jauh lebih luas dibandingkan dengan pendidikan ( karena basicnya udah berbeda ). Karena dia anak sosial, dia mengaku iri dengan anak – anak eksak terutama matematika, karena kami dari orang – orang eksak bisa masuk ke lapangan pekerjaannya tetapi belum tentu yang anak – anak sosial bisa masuk ke lapangan pekerjaan kami. Anak murni juga masih bisa menjadi tenaga pendidik, misalnya dosen.
Selama menjalani kuliah semester 1 dan 2, aku memang belum menemukan penerapan matematika secara pasti dalam lingkungan kerja. Tapi setelah semester 3, ternyata mata kuliahnya udah mulai masuk ke penerapan matematika dalam lingkungan kerja. Setelah itu mulai ada bayangan kedepannya. Tak cukup sampai di situ, aku pun masih penasaran dengan yang namanya penerapan matematika dalam dunia kerja, dan mengapa kebanyakan orang beranggapan kalau lulusan dari MIPA itu cenderung jadi ‘guru’ ke depannya. Akhrinya aku searching di google untuk menjawab rasa penasaranku itu. Hingga pada suatu hari aku membaca sebuah artikel yang isinya menjawab semua pertanyaaku itu. Berikut adalah isi artikelnya :
Ketika kita hendak memilih jurusan di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, kita akan menemukan satu fakultas yang berisi jurusan-jurusan atau departemen-departemen ilmu murni, seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, dan juga Farmasi. Di beberapa universitas, fakultas ini memiliki jurusan tambahan seperti Ilmu Komputer, Statistik, dan Instrumentasi. Fakultas tersebut adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
Fakultas MIPA adalah fakultas yang terfokus pada konsep keilmuan secara murni dan mendalam di bidang pada masing-masing jurusan. Ini terlihat jelas dari kurikulum yang dimiliki oleh tiap jurusan. Misalnya pada jurusan Kimia, fokus konsep diperdalam dengan adanya cabang-cabang seperti Kimia Analitik, Kimia Organik, Kimia Anorganik, dan Biokimia yang setiap cabangnya terdiri lagi dari berbagai spesifikasi (meskipun belum sepenuhnya diterapkan secara khusus). Begitu pula dengan jurusan yang lainnya.
Kefokusan pada ilmu dasar/murni yang dipelajari, membuat masyarakat berpikir bahwa MIPA adalah fakultas yang miskin dengan prospek dan prospek kerja. Sudah sangat berakar pola pikir dan anggapan bahwa lulusan MIPA hanya memiliki dua pilihan, ilmuwan atau guru. Ini disebabkan yang mereka pelajari hanyalah ilmu dasar dan kalaupun mereka bekerja di dunia perindustrian, mereka hanyalah konseptor penghuni laboratorium. Masalah penghasilan yang rendah pun turut menjadi bagian dari paradigma yang berkembang.
Padahal bila kita mengkaji lebih dalam lagi, kita akan menemukan fakta bahwa MIPA adalah ibu dari segala jurusan berbau sains. MIPA dapat pula diibaratkan sebagai akar dari sebuah pohon masa depan. Kalau kita sudah menjadi akar, bukankah kita akan punya banyak kesempatan untuk menumbuhkan jutaan cabang dalam mengembangkannya? Apalagi, di fakultas tersebut, para peserta didik akan diberikan penanaman pola pikir yang tidak diberikan di fakultas lain. Pola pikir yang berbeda dan berorientasi pada hal pasti akan menumbuhkan cabang-cabang yang kekar dan dinamis. Ketika sebuah pohon memiliki akar yang kuat, mau jadi pohon raksasa pun tidak masalah. Ini mengindikasikan bahwa visi menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar kemajuan bangsa akan tercapai dengan mudah bila para insan yang menghuni bangsa tersebut memiliki ilmu dasar yang kuat. Ini menunjukkan bahwa jurusan MIPA pun memiliki prospek yang luas.
Para lulusan MIPA pun memiliki banyak kesempatan untuk merangkul berbagai profesi. Industri perminyakan dan pertambangan yang dianggap sebagai lapangan kerja penuh untuk teknik, ternyata membutuhkan jasa ahli Kimia, Fisika, Biologi, dan Matematika dalam jumlah yang relatif banyak. Perkembangan teknologi yang progresif dan dinamis membuat dunia perindustrian mencari berbagai cabang baru mengenai proses dan analisis metode produksi dari gabungan tenaga MIPA maupun teknik.
Negara Indonesia yang merupakan negara berkembang, membutuhkan pribadi-pribadi yang mandiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila orientasi para mahasiswa bukanlah bekerja, tapi menciptakan lapangan kerja. Para lulusan MIPA yang memang memiliki bakat sebagai konseptor, dapat membuat dan menciptakan inovasi baru untuk proyek-proyek pembangunan di segala bidang/sektor, seperti sektor pangan, kesehatan, teknologi komputer, dan konversi energi. Tentu saja ini akan menyerap banyak tenaga kerja.
Kita pun dapat melihat salah satu contoh sosok sukses hasil didikan Fakultas MIPA, yaitu Profesor Yohanes Surya. Beliau berhasil membawa Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional tahun 2006. Kini, beliau merangkap banyak profesi sebagai ilmuwan, motivator, dosen, penulis, dan pengembang industri.
MIPA memang hanya berorientasi pada ilmu dasar secara mendalam, tetapi kreativitas dan pola pikir yang diterapkan secara baik akan menjadikan insan-insan MIPA sebagai insan-insan produktif yang tidak bergantung penuh kepada institusi/pemerintah dalam berkarya. Ini adalah jalan terbaik untuk menciptakan propek yang baik pula bagi lulusan MIPA dan tidak menutup kemungkinan bagi lulusan dari jurusan lain.
Menjadi mahasiswa MIPA pun sebenarnya merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah. Dengan memperdalam pemahaman sains, kita jadi semakin mengerti bahwa semua fenomena dan keajaiban yang ada di alam ini berada di bawah kendali Dzat Yang Maha Kuasa, sehingga rasa syukur dan keimanan kita pun akan bertambah jika kita adalah kaum yang berfikir.
Dengan mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi, adakah yang masih ragu dengan prospek yang notabenenya adalah rezeki di masa depan? Prospek bukan hal yang mesti ditakuti. Prospek adalah tantangan yang mesti diciptakan sendiri, tentunya atas seizin-Nya. Meskipun memang, kondisi MIPA di Indonesia masih cukup tertinggal dibanding negara maju seperti Jepang yang dari segi spesifikasi dan teknologinya jauh di depan. Sebagai contoh, fokusnya MIPA-Biologi disana bukan lagi seperti Biokimia, tapi fokusnya sudah lebih dalam dan bercabang lagi seperti Bioprotein. Tetapi ini bukan alasan bagi kita untuk takut menjadi civitas MIPA. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang mau dan mampu mengembangkannya?
Sejauh ini, Indonesia memang terlihat lebih progress dan perhatian kepada jurusan sosial. Politikus, hakim, ekonom, semua terkesan menjadi profesi elit di mata masyarakat. Namun ketahuilah, tulang punggung negeri yang nyata adalah sains dan teknologi. Jadi, masih banyak potensi yang bisa kita gali untuk membangun negeri melalui sains dan teknologi.
Menjadi mahasiswa MIPA bukanlah ancaman bagi kesuksesan masa depan. Justru dengan MIPA, kita bisa menciptakan masa depan baru untuk diri kita, lingkungan kita, dan Indonesia kita.
berkehendak lain, masuk murni deh akhirnya… Sempat sebelum daftar ulang banyak teman – temanku yang bertanya, “yakin, kamu mau masuk murni?”, mungkin pertanyaan itu untuk menyakinkanku. Dan setelah aku jawab dengan insya alloh, mereka pun tak berhenti untuk bartanya. Pertanyaan yang terlontar dari mereka selanjutnya adalah “Mau kerja apa kamu setelah lulus dari matematika murni?”. Jujur aja, aku pun bingung untuk menjawabnya. Sama sekali tak ada bayangan dibenakku mau kerja apa kalau udah lulus nanti. Ada yang bilang juga katanya kalau matematika murni itu lebih susah. Entah kenapa ya anggapan – anggapan dari temen – temenku itu masuk dari telinga kanan dan kemudian keluar melalui telinga kiri, ilang begitu saja, dan nggak aku pikirkan…. Secara ya, mungkin aku menganggap anggapan – anggapan seperti itu yang membuat pesimis! Tapi untungnya, aku punya seorang ayah yang bener – bener the best dah, beliau mendukungku untuk tetap masuk ke matematika murni, dan beliau pun berkata menyakinkan, “Matematika murni kan juga bisa bekerja di BPS”. Mungkin hanya satu lapangan pekerjaan yang beliau kasih sebagai gambaranku ke depan, tapi dari situ aku menemukan semangat!!!!!!!
Rasanya lumayan sakit hati juga sih sama pertanyaan dari teman – teman, “Mau kerja apa kamu ambil matematika murni?”….Oh ya, kebanyakan yang melontarkan pertanyaan seperti itu adalah teman – temanku yang masuk ke jalur pendidikan dari berbagai jurusan di FMIPA. Lalu muncul pertanyaan dalam benakku tapi tak kulontarkan kepada mereka. Pertanyaan itu adalah “emang pekerjaan itu cuma guru ya?”. Kalo sekarang mengingat pertanyaan itu rasanya berpikiran “begitu polosnya diriku dulu” wkwkwkwkwkw!
OK, next……. karena lumayan sakit hati ni ya, akhirnya aku curhat ke seseorang yang aku kenal lewat dunia maya. Dia adalah mahasiswa Ekonomi dari Universitas yang terkemuka di Indonesia. Setelah aku menceritakannya, dia malah ketawa. Dia nggak tertawa karena ceritaku, melainkan tertawa akan pertanyaan dari teman – temanku, “Mau kerja apa kamu ambil matematika murni?”. Sejujurnya aku bingung, apa yang dia tertawakan, kenapa dia menertawakan pertanyaan itu?. Dia malah berkata, seandainya dia disuruh milih masuk pendidikan atau murni, dia tetap memilih murni, kenapa? Kata dia, jika kita masuk ilmu murni maka materi yang dipelajari lebih luas dan kita diajarkan bagaimana penerapannya di lapangan, dari itu semua menjadikan prospek kedepan untuk lulusan murni jauh lebih luas dibandingkan dengan pendidikan ( karena basicnya udah berbeda ). Karena dia anak sosial, dia mengaku iri dengan anak – anak eksak terutama matematika, karena kami dari orang – orang eksak bisa masuk ke lapangan pekerjaannya tetapi belum tentu yang anak – anak sosial bisa masuk ke lapangan pekerjaan kami. Anak murni juga masih bisa menjadi tenaga pendidik, misalnya dosen.
Selama menjalani kuliah semester 1 dan 2, aku memang belum menemukan penerapan matematika secara pasti dalam lingkungan kerja. Tapi setelah semester 3, ternyata mata kuliahnya udah mulai masuk ke penerapan matematika dalam lingkungan kerja. Setelah itu mulai ada bayangan kedepannya. Tak cukup sampai di situ, aku pun masih penasaran dengan yang namanya penerapan matematika dalam dunia kerja, dan mengapa kebanyakan orang beranggapan kalau lulusan dari MIPA itu cenderung jadi ‘guru’ ke depannya. Akhrinya aku searching di google untuk menjawab rasa penasaranku itu. Hingga pada suatu hari aku membaca sebuah artikel yang isinya menjawab semua pertanyaaku itu. Berikut adalah isi artikelnya :
Ketika kita hendak memilih jurusan di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, kita akan menemukan satu fakultas yang berisi jurusan-jurusan atau departemen-departemen ilmu murni, seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, dan juga Farmasi. Di beberapa universitas, fakultas ini memiliki jurusan tambahan seperti Ilmu Komputer, Statistik, dan Instrumentasi. Fakultas tersebut adalah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
Fakultas MIPA adalah fakultas yang terfokus pada konsep keilmuan secara murni dan mendalam di bidang pada masing-masing jurusan. Ini terlihat jelas dari kurikulum yang dimiliki oleh tiap jurusan. Misalnya pada jurusan Kimia, fokus konsep diperdalam dengan adanya cabang-cabang seperti Kimia Analitik, Kimia Organik, Kimia Anorganik, dan Biokimia yang setiap cabangnya terdiri lagi dari berbagai spesifikasi (meskipun belum sepenuhnya diterapkan secara khusus). Begitu pula dengan jurusan yang lainnya.
Kefokusan pada ilmu dasar/murni yang dipelajari, membuat masyarakat berpikir bahwa MIPA adalah fakultas yang miskin dengan prospek dan prospek kerja. Sudah sangat berakar pola pikir dan anggapan bahwa lulusan MIPA hanya memiliki dua pilihan, ilmuwan atau guru. Ini disebabkan yang mereka pelajari hanyalah ilmu dasar dan kalaupun mereka bekerja di dunia perindustrian, mereka hanyalah konseptor penghuni laboratorium. Masalah penghasilan yang rendah pun turut menjadi bagian dari paradigma yang berkembang.
Padahal bila kita mengkaji lebih dalam lagi, kita akan menemukan fakta bahwa MIPA adalah ibu dari segala jurusan berbau sains. MIPA dapat pula diibaratkan sebagai akar dari sebuah pohon masa depan. Kalau kita sudah menjadi akar, bukankah kita akan punya banyak kesempatan untuk menumbuhkan jutaan cabang dalam mengembangkannya? Apalagi, di fakultas tersebut, para peserta didik akan diberikan penanaman pola pikir yang tidak diberikan di fakultas lain. Pola pikir yang berbeda dan berorientasi pada hal pasti akan menumbuhkan cabang-cabang yang kekar dan dinamis. Ketika sebuah pohon memiliki akar yang kuat, mau jadi pohon raksasa pun tidak masalah. Ini mengindikasikan bahwa visi menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pilar kemajuan bangsa akan tercapai dengan mudah bila para insan yang menghuni bangsa tersebut memiliki ilmu dasar yang kuat. Ini menunjukkan bahwa jurusan MIPA pun memiliki prospek yang luas.
Para lulusan MIPA pun memiliki banyak kesempatan untuk merangkul berbagai profesi. Industri perminyakan dan pertambangan yang dianggap sebagai lapangan kerja penuh untuk teknik, ternyata membutuhkan jasa ahli Kimia, Fisika, Biologi, dan Matematika dalam jumlah yang relatif banyak. Perkembangan teknologi yang progresif dan dinamis membuat dunia perindustrian mencari berbagai cabang baru mengenai proses dan analisis metode produksi dari gabungan tenaga MIPA maupun teknik.
Negara Indonesia yang merupakan negara berkembang, membutuhkan pribadi-pribadi yang mandiri. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila orientasi para mahasiswa bukanlah bekerja, tapi menciptakan lapangan kerja. Para lulusan MIPA yang memang memiliki bakat sebagai konseptor, dapat membuat dan menciptakan inovasi baru untuk proyek-proyek pembangunan di segala bidang/sektor, seperti sektor pangan, kesehatan, teknologi komputer, dan konversi energi. Tentu saja ini akan menyerap banyak tenaga kerja.
Kita pun dapat melihat salah satu contoh sosok sukses hasil didikan Fakultas MIPA, yaitu Profesor Yohanes Surya. Beliau berhasil membawa Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional tahun 2006. Kini, beliau merangkap banyak profesi sebagai ilmuwan, motivator, dosen, penulis, dan pengembang industri.
MIPA memang hanya berorientasi pada ilmu dasar secara mendalam, tetapi kreativitas dan pola pikir yang diterapkan secara baik akan menjadikan insan-insan MIPA sebagai insan-insan produktif yang tidak bergantung penuh kepada institusi/pemerintah dalam berkarya. Ini adalah jalan terbaik untuk menciptakan propek yang baik pula bagi lulusan MIPA dan tidak menutup kemungkinan bagi lulusan dari jurusan lain.
Menjadi mahasiswa MIPA pun sebenarnya merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah. Dengan memperdalam pemahaman sains, kita jadi semakin mengerti bahwa semua fenomena dan keajaiban yang ada di alam ini berada di bawah kendali Dzat Yang Maha Kuasa, sehingga rasa syukur dan keimanan kita pun akan bertambah jika kita adalah kaum yang berfikir.
Dengan mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi, adakah yang masih ragu dengan prospek yang notabenenya adalah rezeki di masa depan? Prospek bukan hal yang mesti ditakuti. Prospek adalah tantangan yang mesti diciptakan sendiri, tentunya atas seizin-Nya. Meskipun memang, kondisi MIPA di Indonesia masih cukup tertinggal dibanding negara maju seperti Jepang yang dari segi spesifikasi dan teknologinya jauh di depan. Sebagai contoh, fokusnya MIPA-Biologi disana bukan lagi seperti Biokimia, tapi fokusnya sudah lebih dalam dan bercabang lagi seperti Bioprotein. Tetapi ini bukan alasan bagi kita untuk takut menjadi civitas MIPA. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang mau dan mampu mengembangkannya?
Sejauh ini, Indonesia memang terlihat lebih progress dan perhatian kepada jurusan sosial. Politikus, hakim, ekonom, semua terkesan menjadi profesi elit di mata masyarakat. Namun ketahuilah, tulang punggung negeri yang nyata adalah sains dan teknologi. Jadi, masih banyak potensi yang bisa kita gali untuk membangun negeri melalui sains dan teknologi.
Menjadi mahasiswa MIPA bukanlah ancaman bagi kesuksesan masa depan. Justru dengan MIPA, kita bisa menciptakan masa depan baru untuk diri kita, lingkungan kita, dan Indonesia kita.