Memang
benar jika dikatakan bahwa sebagian besar manusia itu adalah orang yang
tidak mau bersyukur atau tidak pandai berterima kasih. Bagaimana tidak,
ketika Alloh Ta’ala telah begitu banyak memberinya nikmat, baik yang
sifatnya dzohir maupun batin, hal itu tidak membuat mereka sadar dan
tergerak untuk semakin menambah ibadah mereka kepada Alloh. Meskipun
bukan berarti Alloh butuh terhadap ibadah tersebut sebagai balasan atas
nikmat yang telah Alloh berikan. Bahkan sebaliknya, kenikmatan itu
justru membuat mereka semakin jauh dari ibadah kepada Alloh Ta’ala. Lalu
bagaimana sikap yang benar yang harus dilakukan oleh seorang hamba?
Kewajiban Seorang Hamba Adalah Bersyukur Serta Tidak Kufur
Banyak
sekali dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah
yang memerintahkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Alloh ‘Azza wa
Jalla dan melarang kita untuk kufur terhadap nikmat-Nya.
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku.” (QS. 2: 152)
Syaikh Abdurrahman Naashir As-Sa’di rohimahulloh berkata,
“Yakni bersyukurlah kalian terhadap nikmat yang telah Allah berikan
kepada kalian dan juga terhadap tercegahnya adzab dari kalian. Di dalam
syukur harus terkandung pengakuan dan kesadaran bahwa nikmat itu
semata-mata dari Alloh semata, dzikir dan pujian yang diucapkan melalaui
lisannya serta ketaatan anggota badannya untuk semakin tunduk dan patuh
dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya”. Beliau menambahkan, “Dan karena lawan dari
syukur adalah kufur, maka Alloh Ta’ala telah melarang darinya: ‘Dan janganlah kamu kufur terhadap (nikmat)-Ku’.
Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah sesuatu yang menjadi lawan
dari syukur, yakni kufur terhadap nikmat-Nya. Namun terkandung juga di
dalamnya, makna kufur yang sifatnya umum, yang paling besar adalah kufur
kepada Alloh, kemudian berbagai macam dan jenis maksiat.” (Taisir Karimir Rohman)
Di tempat lain Alloh juga berfirman yang artinya, “Mereka
mengetahui nikmat-nikmat Alloh, (tetapi) kemudian mereka meningkarinya
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 16: 83)
Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid berkata bahwa maksudnya adalah kata-kata seseorang, ‘Ini adalah harta kekayaan yang diwariskan oleh nenek moyangku’. Aun bin Abdulloh mengatakan, “Yakni kata mereka, ‘Kalau bukan karena fulan tentu tidak akan menjadi begini’.” Dan menurut tafsiran Ibnu Qutaibah, “Mereka mengatakan, ‘Ini berkat syafaat sesembahan-sesembahan kita’.” (Kitaabut Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimy)
Segala Nikmat yang Kita Terima adalah Murni Datangnya dari Alloh
Alloh berfirman yang artinya, “Dan tidak ada kenikmatan yang ada pada kalian kecuali datangnya dari Alloh.” (QS. 16: 3). Syaikh Sholih Alusy-Syaikh hafidzohulloh berkata, “Ini adalah dalil yang tegas dan jelas yang menunjukkan bahwa nikmat apa saja itu adalah dari Alloh, karena lafadz ‘nikmat’ dalam ayat ini datang dalam bentuk ‘nakiroh’ dan dalam konteks penafian. Sehingga ketika lafadz ‘nikmat’ dalam
ayat ini menunjukkan sesuatu yang umum (maksudnya nikmat apa saja -ed),
maka tidak bisa dikecualikan darinya suatu macam nikmat tertentu itu
datangnya selain dari Alloh. Maka nikmat apa saja, baik yang besar
maupun yang kecil, yang banyak maupun yang sedikit, itu semua datangnya
dari Alloh semata.
Adapun
hamba hanyalah merupakan sebab sampainya nikmat tersebut ke tangan
mereka atau kepadamu. Apabila ada hamba yang menjadi sebab
terselamatkannya dirimu dari kesusahan atau menjadi sebab dalam
keberhasilanmu, maka tidaklah menunjukkan bahwa hamba tersebut adalah waliyyun ni’mah (yang memberikan nikmat), kerena sesungguhnya waliyyun ni’mah hanyalah Alloh Azza wa Jalla. Keyakinan seperti ini termasuk kesempurnaan tauhid seorang hamba, karena seorang muwahhid (orang
yang sempurna tauhidnya) akan meyakini dengan seyakin-yakinnya di dalam
hatinya bahwa di sana tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan mudhorotkecuali hanyalah Alloh Robbul ‘alamin.” (At Tamhid Lii Syarhi Kitabit Tauhid).
Menjadi Hamba yang Bersyukur
Syukur merupakan salah satu maqom (derajat)
yang tinggi dari seorang hamba. Rasa syukur itulah yang dapat membuat
seorang hamba menjadi sadar dan termotivasi untuk terus beribadah kepada
Alloh. Seperti yang diceritakan dari Nabi bahwasanya beliau sholat
malam sampai bengkak kakinya. Ketika ditanyakan kepada beliau, “Mengapa
engkau melakukan ini wahai Rosululloh, padahal sungguh Alloh telah
mengampuni seluruh dosa-dosamu baik yang telah lewat ataupun yang akan
datang?” Maka Rosululloh menjawab, “Tidakkah aku ingin menjadi hamba-Nya
yang bersyukur?” (HR. Bukhori dan Muslim)
Sehingga ketika mengetahui ini, Iblis la’natulloh alaih,
sebelum dia terusir ke dunia, berjanji kepada Alloh ‘Azza wa Jalla
untuk menggelincirkan manusia dan akan menghalangi mereka untuk menjadi
hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
Alloh menceritakan perkataan Iblis ini, “Kemudian
sungguh akan kami datangi mereka (bani Adam) dari arah depan, arah
belakang, samping kanan dan samping kiri mereka, sehingga tidak akan Kau
dapati kebanyakan di antara mereka yang bersyukur.” (QS. 7: 17)
Dan terbuktilah apa yang dikatakan oleh iblis, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh yang artinya, “Dan sedikit sekali golongan hamba-Ku yang mau bersyukur.” (QS. 34: 13)
Termasuk
bersyukur adalah kita menerima apa pun yang ada pada kita saat ini,
baik yang sedikit maupun yang banyak. Karena pada hakekatnya kenikmatan
yang kita terima itu tiada terkira banyaknya. Alloh berfirman yang
artinya,“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Alloh, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” (QS. 16: 18)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Lihatlah
orang yang yang ada di bawahmu dan janganlah kamu melihat orang yang
ada di atasmu. Hal itu akan lebih baik bagimu agar kamu tidak meremehkan
nikmat Alloh yang yang diberikan kepadamu.” (HR. Bukhori Muslim)
Bagaimana Menjadi Hamba-Nya yang Bersyukur
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata,
“Syukur itu menurut asalnya adalah adanya pengakuan akan nikmat yang
telah Alloh berikan dengan cara tunduk kepada-Nya, merasa hina di
hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Maka barangsiapa yang tidak merasakan
bahwa itu adalah suatu kenikmatan maka dia tidak akan mensyukurinya.
Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat namun dia tidak mengetahui
dari mana nikmat itu berasal, dia juga tidak akan mensyukurinya.
Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan mengetahui pula
dari mana nikmat itu berasal, namun dia mengingkarinya sebagaimana orang
yang mengingkari Alloh yang memberi nikmat, maka dia telah kafir.
Barangsiapa yang mengetahui itu adalah suatu nikmat dan dari mana nikmat
itu berasal, mengakuinya dan tidak mengingkarinya, akan tetapi ia tidak
tunduk kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya atau ridho kepada-Nya, maka
ia tidak mensyukurinya. Barangsiapa yang mengetahui itu adalah nikmat
dan dari mana nikmat itu berasal, mengakuinya, tunduk kepada yang
memberi nikmat, mencintai-Nya dan meridhoi-Nya, dan menggunakan dalam
kecintaan dan ketaatan kepada-Nya, maka inilah baru disebut sebagai
orang yang bersyukur.”
Ancaman dan Bahaya Untuk Orang yang Kufur Nikmat
Alloh berfirman yang artinya, “Dan
(ingatlah juga) ketika Robb kalian mengatakan, ‘Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku) maka ketahuilah sesungguhnya adzab-Ku sangat
pedih’.” (QS. 14: 7). Dalam ayat yang mulia ini, Alloh Azza wa
Jalla memberikan janji kepada para hamba-Nya yang mau bersyukur,
sekaligus memberikan ancaman yang keras bagi mereka yang berani untuk
kufur kepada-Nya.
Bukti
dari ancaman Alloh ini dapat kita lihat dari kisah-kisah orang di
sekitar kita, atau dari apa yang Alloh ceritakan langsung dalam ayat-Nya
tentang kisah Qorun. Alloh berfirman yang artinya, “Qorun
berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada
padaku’. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasannya Alloh sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih
banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang
yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada
kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki
kehidupan dunia, ‘Semoga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah
diberikan Qorun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan
yang besar. Maka Kami benamkan Qorun beserta rumahnya ke dalam bumi.
Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap
adzab Alloh dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela
(dirinya).” (QS 28: 78-79 & 81). Wal iyyadzu billah… semoga Alloh menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hamba-Nya yang bersyukur. Amiin.