Lagi-lagi tentang entitas tak hingga. Oke, saya menulis artikel ini ada
hubungannya dengan kuliah saya, jadi saya akan memulai dengan
pendahuluan terlebih dahulu sebelum membahas paradoks lampu.
Tersebutlah suatu saat kuliah dosen saya mengatakan bahwa tak hingga
jika dikalikan nol hasilnya adalah nol dengan dalih teorema:
"Semua bilangan jika dikalikan nol hasilnya adalah nol".
Dan dosen yang lain juga mengatakan bahwa 0 + 0 + 0 + 0 + ... sampai tak
hingga sukunya hasilnya ialah nol. Well, tentu saja dosen juga bisa
keliru. Tak hingga jika dikalikan dengan nol hasilnya mungkin berapa
saja, mengingat tak hingga dikali nol adalah bentuk tak tentu. Demikian
juga 0 + 0 + 0 + 0 + ... merupakan problem yang sama dengan ∞ × 0 hanya
saja dalam penulisan yang berbeda. Untuk pembuktian bahwa ∞ × 0 hasilnya
mungkin berapa saja, perhatikan pemaparan di bawah ini.
x = 0 + 0 + 0 + 0 + ... | (1) |
x = (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + ... | (2) |
x = 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + 1 – 1 + ... | (3) |
x = 1 – {(1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + ...} | (4) |
x = 1 - x | (5) |
x = 1/2 | (6) |
Lihat? Ternyata ∞ × 0 mungkin saja sama dengan setengah (lengkapnya dapat dilihat pada postingan mengenai infinity series paradox).
Jadi apa yang salah dengan teorema sebelumnya? Seingat saya saat SMA
(dan dikukuhkan dengan penelusuran di buku), teorema itu sebenarnya
berbunyi:
"Semua bilangan riil jika dikalikan dengan nol hasilnya sama dengan nol".
Ternyata itulah "ayat" lengkapnya (jadi jelas sekali memenggal-menggal
ayat bisa menyesatkan, jangan pernah percaya pada pendapat seseorang
yang memberikan argumen ayat-ayat yang sepotong-sepotong: berbahaya!).
Setelah belajar mengenai bilangan kompleks, saya kira bilangan kompleks
juga sahih dalam teorema itu. Saat mengajukan pembuktian ini kepada
seorang teman, ia mencoba memberikan argumen yakni:
"jika polanya seperti kesamaan (3), bila operasi pertama ialah kurang,
maka operasi terakhir haruslah juga kurang sehingga hasilnya sama dengan
nol. Dengan mengeluarkan angka satu yang pertama dari kurung, maka
operasi terakhir dalam tanda kurung [kesamaan (4)] adalah tambah, yang
berarti nilai dalam kurung kurawal tidak sama dengan x".
Jadi teman saya berargumen pembuktian saya keliru mulai dari kesamaan
(5). Lalu apakah pembuktian saya salah? Tentu saja tidak, sebab jumlah
suku pada deret tadi ialah tak hingga, jadi apa yang menjamin pada deret
tadi jika operasi pertama ialah kurang maka operasi yang terakhir
pastilah kurang juga? Berikut pembuktian bahwa kita tidak mungkin tahu
operasi apakah yang terakhir itu tak peduli operasi apa yang kita
lakukan di awal.
Thompson's Lamp Paradox
Bayangkan terdapat lampu dalam suatu ruangan tertutup dengan sakelar
untuk menyalakan/memadamkannya. Pada menit ke-0, lampu dalam keadaan
padam, semenit kemudian lampu dinyalakan, seperempat menit berikutnya
lampu dipadamkan lagi, seperdelapan menit berikutnya lampu dinyalakan
lagi, dan seterusnya sakelar di-switch setiap selang setengah dari
selang sebelumnya. Dengan sedikit pengetahuan deret geometri, dapat kita
tuliskan waktu yang diperlukan dalam melakukan percobaan ini ialah:
yang limit jumlahnya sama dengan 2. Dengan kata lain 1 + 1/2 + 1/4 + 1/8 + 1/16
+ ⋯ sampai berapa pun sukunya (asal berhingga) tidak mungkin lebih dari
dua. Jika jumlah sukunya tak hingga, maka jumlah deret itu adalah 2.
Jadi pada kasus tadi (asumsikan kondisi ideal), saat menit ke-dua apakah
lampu dalam keadaan menyala ataukah padam? Atau jika kita mengulangnya
dengan keadaan awal (menit ke-0) lampu menyala dan memberlakukan aturan
yang sama dengan percobaan sebelumnya, apakah lampu dalam keadaan
menyala ataukah padam? Apakah keadaan lampu saat menit ke-2 pada
percobaan pertama dan percobaan ke-dua mestilah berbeda?
Tentu saja kita tak mampu menjawabnya. Dapat saja lampu menyala, tetapi
ia juga padam, ataukah padam tetapi juga menyala, dengan kata lain lampu
berada pada keadaan menyala sekaligus padam. Kecuali jika ditanya
bagaimana kondisi ruangan saat menit ke-dua, dengan cukup yakin kita
bisa menjawab kondisi ruangan terang. Ya, pasti terang, bukan karena
lampu pasti dalam keadaan menyala, tetapi karena jika sumber cahaya
berkedip-kedip dengan periode yang sangat cepat hingga diluar kemampuan
"kecepatan mata", maka mata akan menangkapnya sebagai terang yang
kontinyu. Jadi menanyakan apakah ruangan terang atau apakah lampu
menyala pada menit ke-dua merupakan dua hal yang berbeda. Jika yang
ditanyakan apakah lampu menyala, kita kembali ke jawaban dari paradoks
ini: tidak tahu. Eh, ataukah tidak terbedakan?